Pages

Senin, 18 November 2013

Balla Lompoa

Balla LompoaA. Selayang Pandang

Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng  Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini berada dalam sebuah komplek seluas satu hektar yang dibatasi oleh pagar tembok yang  tinggi.
Bangunan museum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama seluas  60 x 40 meter dan ruang teras (ruang penerima tamu) seluas 40 x 4,5 meter. Di  dalam ruang utama terdapat tiga bilik, yaitu: bilik sebagai kamar pribadi raja,  bilik tempat penyimpanan benda-benda bersejarah, dan bilik kerajaan. Ketiga  bilik tersebut masing-masing berukuran 6 x 5 meter. Bangunan museum ini juga  dilengkapi dengan banyak jendela (yang merupakan ciri khas rumah Bugis) yang  masing-masing berukuran 0,5 x 0,5 meter.
Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama  bangunan, sebuah peta Indonesia  terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang silsilah keluarga  Kerajaan Gowa  mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng  Lalongan (1947-1957). Di ruangan utama ini, terdapat sebuah singgasana yang di letakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per  tahun untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.

B. Keistimewaan

Museum Balla Lompoa menyimpan koleksi benda-benda berharga yang tidak hanya bernilai tinggi karena nilai sejarahnya, tetapi juga karena bahan pembuatannya dari emas atau batu mulia lainnya. Di museum ini terdapat sekitar 140 koleksi benda-benda kerajaan yang bernilai tinggi, seperti mahkota, gelang, kancing, kalung, keris dan benda-benda lain yang umumnya terbuat dari emas murni dan dihiasi berlian, batu ruby, dan permata. Di antara koleksi tersebut,  rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang sampai atau lebih dari 1  kilogram. Di ruang pribadi raja, terdapat sebuah mahkota raja yang berbentuk  kerucut bunga teratai (lima  helai kelopak daun) memiliki bobot 1.768 gram yang bertabur 250 permata  berlian. Di museum ini juga terdapat sebuah tatarapang, yaitu keris emas  seberat 986,5 gram, dengan pajang 51 cm dan lebar 13 cm, yang merupakan hadiah  dari Kerajaan Demak. Selain perhiasan-perhiasan berharga tersebut, masih ada koleksi benda-benda bersejarah lainnya, seperti: 10 buah tombak, 7 buah naskah  lontara, dan 2 buah kitab Al Quran yang ditulis tangan pada tahun 1848.
Museum Balla Lompoa berada di Jalan Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

D. Akses

Museum ini terletak di Kota Sungguminasa yang berbatasan langsung dengan  Kota Makassar. Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi  dan angkutan umum, baik roda empat maupun roda dua.

E. Harga Tiket Masuk

Masih dalam proses konfirmasi

F. Akomodasi dan Fasilitas

Di dalam komplek, tersedia pelayanan jasa guide yang akan  memberikan informasi kepada pengunjung tentang museum itu sendiri dan segala sesuatu  yang berkaitan dengan koleksi benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya.
(Sumber: wisatamelayu)

Permainan Tradisional Bugis-Makassar

Bise-biseang. Permainan ini diangkat dari permainan masyarakat pesisir Bugis-Makassar. Pada permainan ini, pemain akan bergerak di titik awal ke titik tertentu menggunakan sarung sebagai kendaraan. | DOK KOMPAS TV
KOMPAS.com - Makassar punya segudang permainan tradisional. Di Sanggar Kesenian Batara Gowa, pembawa acara Kampung Main di Kompas TV, Ramon Y Tungka, menjajal beberapa di antaranya. Berikut penjelasan detil tiap permainannya.
Permainan bise-biseang ini benar-benar menguji kekompakan para pemain dalam satu tim. Meski kelihatannya sederhana, tapi permainan ini sungguh menguras tenaga, juga menguras tawa.
-- Ramon Y Tungka
1. Gandrang Bulo
Aslinya, Gandrang Bulo adalah sebuah tarian yang memiliki beberapa permainan di dalamnya. Ada permainan buwang-buwang passapu atau takanja-kanjarang, dan biko-biko.
Dalam Gandrang Bulo, para pemain yang menari jenaka saling melempar passapu (ikat kepala segitiga khas Bugis-Makassar) dan lawan yang lain berusaha merebut. Bila pemain lawan gagal merebut passapu, maka ia harus berperan menjadi kuda.
Permainan biko-biko yakni meniru gerak layaknya kelelawar, atau biko-biko dalam bahasa setempat.  Para pemain akan mengenakan sarung pada kepala hingga menutupi seluruh bagian kepala kecuali mata.
“Kalau dilihat sepintas, Gandrang Bulo ini mirip tarian jenaka. Padahal, pada saat diciptakan, sebenarnya tarian ini adalah bentuk sindiran terhadap penjajah Belanda. Contohnya saat pemain berlaku seperti seekor monyet yang saling mengejek,” terang Muhammad Andi Redo, Direktur Eksekutif Yayasan Kesenian Batara Gowa.


2. Mappadendang
Ini permainan irama alu dan lesung. Para pemainnya saling bergantian menumbukkan alu pada sebuah lesung hingga tercipta irama yang apik, menarik dan harmonis. Para pemainnya juga bernyanyi mengucap rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Irama dan nada yang rancak, membuat para pemainnya kian bersemangat.


3. Maggale
Permainan ini menggunakan tempurung kelapa yang dibelah dua dan dilubangi bagian tengahnya. Lubang ini kemudian diikat dengan seutas tambang tebal sepanjang sekira satu setengah meter.
Para pemainnya menggunakan tempurung kelapa bertali ini sebagai alas kaki saat berlomba berlari. Caranya, tambang dijepit di antara ibu jari kaki dan jari telunjuk kaki.
Siapa yang paling dulu mencapai garis finish, dialah pemenangnya. Pemain yang kalah, harus rela menggendong pemain yang menang.


4. Bu’uh Rawe
Permainan ini mirip dengan sepak bola. Ada gawang di kedua ujungnya. Bedanya, pada Bu’uh Rawe, ukuran gawangnya mini, dengan panjang hanya satu meter dan tinggi setengah meter.
Sebelum bermain, diadakan undian terlebih dahulu untuk menentukan tim yang akan menendang bola terlebih dahulu.
Cara bermainnya, serupa dengan permainan bola. Para pemain saling berlomba memasukkan bola ke gawang lawan. Uniknya, para pemain tidak menendang bola langsung dengan kaki, melainkan menggunakan tongkat serupa dayung. Pemain dan pemain lawan pasangannya pun bermain dengan punggung yang saling menempel.
Ya, Bu’uh Rawe adalah permainan yang tercipta di kalangan anak-anak nelayan Bugis-Makassar di pesisir pantai. Dulunya, permainan ini dimainkan oleh para nelayan yang tengah dilanda kebosanan saat berada di atas perahu yang terombang-ambing di tengah laut. Bolanya dibuat dari tempurung kelapa agar mengambang bila jatuh ke laut.
Seperti sepak bola, Bu’uh Rawe pun punya aneka tata cara permainan, yang apabila dilanggar, dikenakan sanksi. “Jika pemain mengambil bola tanpa dayung dan menggunakan kaki, itu pelanggaran. Pemain juga akan kena penalti itu jika bola kena kaki, atau kena batas gawang,” tutur Daeng Achi sang wasit.
Permainan akan berlangsung selama 3 babak. Masing-masing babak berlangsung selama 5 menit. Tiap berganti babak, tim pemain akan berganti gawang.


5. Makkaddaro
Permainan ini menggunakan tempurung kelapa sebagai alat permainannya. Masing-masing kelompok yang terdiri dari dua pemain saling bergantian menembakkan kaddaro atau tempurung kelapa hingga mengenai sasaran berupa kaddaro lawan yang dipasang di titik tertentu.
Permainan ini punya lima tahap permainan yang disesuaikan dengan cara melempar kaddaro masing-masing. Misalnya, pada Tendang Tapak Kaki di tahap pertama, pemain harus menendang kaddaro menggunakan kaki. Atau, Siku di tahap keempat yang mengharuskan para pemainnya membawa kaddaro di bagian siku untuk dijatuhkan di atas kaddaro lawan. Atau, Ma’jujung Kaddaro di tahap kelima yang mengharuskan para pemainnya menjunjung kaddaro di atas wajah.
Kedua tim pemain akan saling bergantian bermain. Bila tim yang satu usai bermain, maka tim lawan baru ganti bermain. Tim pemenang adalah tim yang paling banyak mengumpulkan poin yang dihitung oleh wasit. Tim yang kalah harus menirukan laku seekor monyet. Uuuuuk aaak uuuk aaak....


6. Bise’-bise’ang
Permainan ini diangkat dari permainan masyarakat pesisir Bugis-Makassar. Pada permainan ini, pemain akan bergerak di titik awal ke titik tertentu menggunakan sarung sebagai kendaraan. Sarung yang digunakan dalam permainan ini menyimbolkan sebuah perahu yang digunakan seorang nelayan saat pergi berlayar mengarungi lautan.
Dulunya, satu sarung dimainkan oleh satu orang pemain. Kini, satu sarung dimainkan oleh dua orang pemain yang duduk berhadap-hadapan dan saling bekerja sama menjalin kaki untuk menggerakkan perahu sarung.
“Permainan bise’-bise’ang ini benar-benar menguji kekompakan para pemain dalam satu tim. Meski kelihatannya sederhana, tapi permainan ini sungguh menguras tenaga, juga menguras tawa!” seru Ramon terkekeh. Dan sungguh, permainan ini memang sungguh kocak bagi yang melihatnya.
Masih ada segudang kekayaan permainan tradisional lain yang menanti untuk dimainkan. Simak terus Kampung Main yang tayang di Kompas TV tiap Sabtu jam 10.00 WIB. (Vyara)
Sumber : Kompas TV
Editor : I Made Asdhiana

Monumen Mandala: Wisata Sejarah Pembebasan Irian Barat

Menjulang tinggi di pusat Kota Makassar, sekitar setengah kilometer sebelah Selatan Lapangan Karebosi. Monumen yang didirikan di atas lahan seluas satu hektare ini dibangun pada tanggal 11 Januari 1994. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Menko Polkam Soesilo Sudarman, dan diresmikan oleh Presiden H. M. Soeharto, pada tanggal 19 Desember 1995. 
Monumen Mandala. Di jantung Kota Makassar. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Monumen Mandala. Di jantung Kota Makassar. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
  
Meski monumen ini hanya menara beton yang berongga, kaku, namun masih menyisakan denyut perjuangan dan semangat yang kuat

Monumen Pembebasan Irian Barat atau lebih dikenal sebagai Monumen Mandala adalah pengingat atas keberhasilan Indonesia merebut kembali (pembebasan) wilayah Irian Barat -sekarang Papua- yang bergolak pada 1962 ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ketika itu Indonesia masih dipimpin presiden pertama RI, Soekarno. Meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan hampir 20 tahun, namun Belanda masih menguasai wilayah Irian Barat. Tinggi Menara Monumen yang mencapai ketinggian 62 meter merupakan simbol tahun 1962, tahun terjadinya perjuangan pembebasan Irian Barat.
Pengingat sejarah “Pembebasan Irian Barat”. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Pengingat sejarah “Pembebasan Irian Barat”. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Lalu, mengapa monumen ini dibangun di Makassar? Karena perjuangan dimulai dari kota ini. Di sinilah bermarkas pasukan pembebasan Irian Barat.

Sejarah mencatat, perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda untuk membebaskan Irian Barat ketika itu semuanya kandas dan berakhir sia-sia tanpa hasil. Akhirnya, pemerintah menggunakan kekuatan militer; Presiden Soekarno pada Desember 1961 mencetuskan Tiga Komando Rakyat atau Trikora.

Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta, dan mengangkat  Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima serta Komando Mandala. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian Barat dengan Indonesia.

Guna melancarkan operasi militer ini Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer dari Uni Soviet, antara lain: 

Dalam pembenahan. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Dalam pembenahan. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan),
9 Helikopter MI-6 (angkutan berat),
30 pesawat jet MiG-15,
49 pesawat buru sergap MiG-17,
10 pesawat buru sergap MiG-19,
20 pesawat pemburu supersonik MiG-21,
12 kapal selam kelas Whiskey,
puluhan korvet, dan
1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian).


Dari jenis pesawat pengebom, terdapat 22 unit pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.

Semua potensi nasional kala itu dimobilisasi. Mulai pusat hingga daerah, bersiap-siap melakukan langkah militer untuk merebut Irian Barat. Soekarno membentuk Komando Mandala yang besifat gabungan. Setelah itu melantik Brigjen Soeharto menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Mayjen.
Panggung pertunjukan. Sedang direnofasi. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Panggung pertunjukan. Sedang direnofasi. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)

Desain Monumen
Desain monumen yang dibuat dengan bentuk segi tiga sama sisi  menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Pada bagian bawah monumen, terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat dari Trikora, sementara relief sama di bagian atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam. Lalu ada juga 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen perjuangan fisik rakyat saat itu.

Relief SURAT MANDAT. Tertulis: “Markas Besar Tentara. MANDAT. Kepada saudara Andi Mattalatta utusan pemuda dan golongan raja-raja dari sulawesi, yang sesuai dengan hasil konfrensi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berlangsung pada Bulan Nopember 1945 di ParePare. Dengan ini saya beri kuasa penuh untuk membentuk Tentara Republik Indonesia di Sulawesi. Segala sesuatu yang bersangkutpaut dengan surat kuasa ini diselesaikan sesuai dengan prosedur yang sebagai lampiran surat kuasa ini dan petunjuk-petunjuk yang diberikan secara lisan. Jogjakarta, 20 Maret 1946. Markas Besar Tentara. Panglima Besar. Ttd. Jenderal Soedirman”   (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Relief SURAT MANDAT. Tertulis: “Markas Besar Tentara. MANDAT. Kepada saudara Andi Mattalatta utusan pemuda dan golongan raja-raja dari sulawesi, yang sesuai dengan hasil konfrensi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berlangsung pada Bulan Nopember 1945 di ParePare. Dengan ini saya beri kuasa penuh untuk membentuk Tentara Republik Indonesia di Sulawesi. Segala sesuatu yang bersangkutpaut dengan surat kuasa ini diselesaikan sesuai dengan prosedur yang sebagai lampiran surat kuasa ini dan petunjuk-petunjuk yang diberikan secara lisan. Jogjakarta, 20 Maret 1946. Markas Besar Tentara. Panglima Besar. Ttd. Jenderal Soedirman” (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Monumen juga dikelilingi oleh kolam yang berarti kejernihan berpikir yang mutlak dimiliki dalam setiap perjuangan. Sayang, kondisi monumen terlihat kurang mendapat perawatan. Dinding menara dan beberapa bagian monumen ditumbuhi lumut dan semak, begitu pula kolam air yang mengelilingi monumen sudah tidak berfungsi lagi.

Apabila Anda melihat di ketinggian puncak menara, di sana terlihat sebuah harde (penangkal petir) yang seolah hendak menusuk langit; bermakna cita-cita tinggi yang hendak diraih.  Ada sebuah lift yang disiapkan untuk mengangkut pengunjung naik ke ruangan pengawas di puncak menara. Untuk masuk dan menikmati pemandangan dari ketinggian, pengunjung dikenai tarif Rp 10.000 per orang. Biasanya lift akan dioperasikan jika pengunjung datang secara berombongan. Sayang saat VERSI berkunjung, lift belum dapat difungsikan. Menurut Anwar, security monumen,  lift masih dalam perbaikan.

Keseluruhan tinggi monument Mandala mencapai 75 meter, terdiri empat lantai.  Lantai pertama menggambarkan perjuangan pahlawan lokal, sementara lantai dua menggambarkan perjuangan pahlawan nasional. Di areal tersebut juga terdapat beberapa bangunan lain, seperti galeri, dan ruang pertemuan. Khusus galeri, saat ini difungsigandakan sebagai Sekretariat Dewan Kerajinan Nasional Indonesia Daerah Sulsel. Sementara  ruang pertemuan masih sering dipakai, seperti seminar dan aktifitas sejenis lainnya. Ruang pertemuan ini disewakan dan ada pengelola khusus yang menanganinya.

Tepat di belakang monumen, terdapat panggung pertunjukan yang biasa dipakai band-band lokal maupun nasional menghibur penggemarnya. Panggung itu berhadapan dengan tiga tribun untuk penonton. Dua tribun penonton biasa, dan satu tribun di bagian tengah diapit oleh dua tribun biasa, ada juga tribun untuk tamu khusus atau very important person. Saat tulisan ini dibuat, panggung pertunjukan tersebut sedang direnovasi. Terlihat beberapa bagian masih dalam tahap penyelesaian.

Relief selengkapnya. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)
Relief selengkapnya. (Foto: Zainal Rahman. 11 Oktober 2011)


Mudah Dijangkau
Memasuki monumen, pengunjung akan diarahkan ke lantai dasar terlebih dulu oleh petugas dengan melewati sebuah tangga yang membelok menuju lantai dasar.

Pada dinding bagian luar monumen terdapat banyak relief yang menggambarkan susana atau adegan sejumlah peristiwa bersejarah yang melibatkan sejumlah tokoh dan orang-orang penting di masa lampau. Diorama ini menjelaskan momen-momen bersejarah, khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan.

Di lantai pertama ruangan monumen, terdapat 12 diorama (selengkapnya lihat catatan di akhir tulisan ini) yang masing-masing melukiskan sejumlah persitiwa penting di masa lalu. Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief  Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat.

Demonstrasi di depan Monumen Mandala. Salah satu tempat favorit menyuarakan keprihatinan. (Foto: M. Yulanwar)
Demonstrasi di depan Monumen Mandala. Salah satu tempat favorit menyuarakan keprihatinan. (Foto: M. Yulanwar)
Meski monumen ini hanya menara beton yang berongga, kaku, namun masih menyisakan denyut perjuangan dan semangat yang kuat. Tak heran jika mahasiswa Makassar memilih kawasan elit Makassar ini menjadi salah satu tempat favorit perjuangan mereka; menyuarakan suara keprihatinannya (demonstrasi) atas apa yang menimpa negeri ini.

Berkunjung ke lokasi ini sangat mudah. Lokasinya sangat strategis, berada di jantung Kota Makassar, bersebelahan dengan Gedung Balai Prajurit Jenderal M.Yusuf di Jalan Jenderal Sudirman No.2, Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang. Dari pusat kota, masyarakat setempat maupun pendatang dapat mencapai monumen dengan berjalan kaki atau naik becak.

Dari Bandara Sultan Hasanuddin, Monumen Mandala dapat dijangkau dengan angkutan umum taksi, maupun fasilitas pengantaran hotel melalui rute Jl.Perintis Kemerdekaan, Jl.Urip Sumoharjo, Jl.G.Bawakaraeng lalu berbelok kiri ke arah Jl.Jend.Sudirman, dengan jarak tempuh sekitar 25 km. Bisa juga melalui jalur Tol Ir.Sutami,dengan jarak tempuh hanya 17 km. Tarif Taxi dari Bandara ke Monumen Mandala Rp 87.000 (zona II). Tarif angkutan kota dengan dua kali berganti angkot Rp.6.000 (Rp 3.000/angkot).

Monumen saat senja tiba. (Foto: Zainal Rahman)
Monumen saat senja tiba. (Foto: Zainal Rahman)
Sedangkan dari Pelabuhan Soekarno Hatta anda dapat menjangkau Monumen Mandala melalui Jl.Nusantara, Jl.A.Yani, Jl.Jend.Sudirman, dengan jarak sekitar 5 km. Tarif Taxi dari Pelabuhan Soekarno-Hatta ke Monumen Mandala kurang lebih Rp 30.000.

Selain itu, seputar lokasi monumen adalah tempat bertaburan hotel maupun wisma berbagai kelas. Dengan menempati salah satu tempat inap di kawasan tersebut, berkunjung ke Monumen Mandala bukanlah hal yang sulit lagi. Selain sangat familiar di Kota Makassar –rasanya semua warga tahu tempat ini, akses kendaraan  ke tempat inipun banyak tersedia. [V]


Catatan:


12 Diorama: Dari Perang Makassar hingga Peristiwa Andi Azis

Terdapat 12 diorama, 3 relief dan 3 replika pakaian pejuang  Abad XVII s/d XVIII. Diorama di lantai satu menceritakan tentang perjuangan di daerah Sulawesi, berikut penjelasan setiap diorama :

Diorama 1
Melukiskan Perang Makassar melawan Belanda, tahun 1668. Pertempuran terdahsyat yang pernah terjadi di Indonesia, mempertahankan Benteng Somba Opu, pusat Kerajaan Gowa di Makassar dari gempuran Belanda, dipimpin Speelman bersama sekutunya (Pasukan Bone yang dipimpin Arungpalakka, pasukan Buton dan Ambon) sementara rakyat Gowa dan sekutunya di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Akhir dari pertempuran itu,  24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Belanda memberi julukan "AYAM JANTAN BENUA TIMUR” kepada Sultan Hasanuddin.

Diorama 2
Melukiskan Perlawanan Rakyat Wajo Terhadap Belanda, tahun 1716-1741. Pertempuran sengit ditepi sungai Topace’do,Tonrange-Tosora pada Tanggal 3 Maret 1741 digambarkan dalam diorama ini. Di bawah Pimpinan Lamadukelleng, selaku Arung Matoa Wajo memimpin perlawanan rakyat Wajo melawan pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Admiral Smout. Lamadukelleng bersama rakyatnya berhasil memukul mundur dan membunuh 100 tentara Belanda.

Diorama 3
Melukiskan Perlawanan Rakyat Mandar, tahun 1890. Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Di antara kerajaan-kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Belanda mengajak Maradia Tokape dari Balanipa untuk kerjasama, namun ternyata ajakan tersebut ditolak, bahkan Maradia melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan  menghadang pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawah ke Makassar selanjutnya ke Jakarta, dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.


Diorama 4
Melukiskan Perlawanan rakyat Bone, tahun 1905. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bone, Belanda berkali-kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang  dikenal dengan sebutan Bonische Expeditio atau Ekspedisi Bone, sebuah bentuk penyerangan yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Kerajaan Bone diperintah oleh Lapawawoi Karaeng Segeri, Raja Bone yang ke-31, Ia bergerilya meliputi daerah Bone, Wajo, Sidenreng Rappang dan Pare-Pare (dari Watanpone sampai pantai Makassar) dengan cara ditandu karena usia lanjut dengan dikawal putranya sendiri bernama Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitturiase Wilayah Kerajaan Sidenreng putranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat putranya tewas. Akhirnya Ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan Meninggal pada Tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.

Diorama 5
Melukiskan Perlawanan Rakyat Tana Toraja, tahun 1906. "Moka ulungku, moka lettekku, Naparenta tobuta” yang artinya: Kaki dan Tanganku Tak Mau Di jajah oleh Orang Buta (Belanda), itulah ucapan Pongtiku ketika ia menolak panggilan Belanda, konsekuensinya Pongtiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda. Dan terjadilah pertempuran Bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Pongtiku juga melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari Gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'Londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Pandanan menemui Pongtiku Di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pongtiku saat keluar dari Gua, lalu di bawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pongtiku ditembak mati oleh Belanda ditepi Sungai Sa'dang di pinggir kota Rantepao.

Diorama 6
Melukiskan Serangan Umum Terhadap Kota Palopo, 23 Januari 1946. Ada dua alasan rakyat Luwu melancarkan serangan umum terhadap Kota Palopo tanggal 23 Januari 1946. Pertama, ikut sertanya tentara NICA atau (KNIL) dengan membonceng pasukan sekutu (Australia) yang datang ke Palopo untuk menjemput dan mengambil tawanan serta senjata Jepang. Kedua, adalah kemarahan rakyat terhadap tindakan patroli KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan sisa-sisa makanan kaleng, merobek­-robek Al Qur'an serta memukuli pegawai masjid dengan gagang senapan. Serangan umum dilancarkan setelah ultimatum yang diberikan ternyata tidak dipatuhi oleh sekutu yakni agar tentara KNIL ditarik masuk kedalam tangsinya. Serangan umum dipelopori oleh Andi Jemma Datu Luwu, M. Yusuf Ariel dll, dan berhasil menghancurkan pasukan kecil sekutu yang ada di Kota Palopo.

Diorama 7
Melukiskan Perlawanan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (Lapris) di Polombangkeng, Mei 1946. Pada tanggal 17 Juli 1946 terbentuk organisasi laskar Pemberontak Rakyat Indonesia:(LAPRIS), dimana Ranggong Daeng Romo ditunjuk sebagai pimpinannya dibantu oleh Makkaraeng Daeng Mandjaruni, Robert Wolter Monginsidi dan lain-lain. Pada tanggal 27 Februari 1947 Subuh tiba-tiba markasnya yang berada di atas Gunung Lengkese-Polombangkeng diserang pasukan KNIL. la mengadakan perlawanan hingga titik darah penghabisan, dan gugur bersama-sama prajuritnya sebagai Kusuma Bangsa.

Diorama 8
Melukiskan Pelantikan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), 1946. KRIS sebagai bagian dari laskar seberang di Istana Yogyakarta. Badan perjuangannya dibentuk di Jakarta tanggal 10 Oktober 1945 oleh Barth Ratulangi, H. M. Idrus GP, Boece Waworuntu dll. KRIS didirikan untuk menyalurkan semangat juang para pemuda Sulawesi yang ada di Jawa dalam satu barisan sebagai spontanitas keikutsertaan mempertahankan kedaulatan RI, KRIS merupakan tindak lanjut dari APIS (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi) yang sebelumnya adalah GEPIS (Gerakan Pemuda-Pemuda Indonesia Sulawesi) yaitu Organisasi Pemuda-Pemuda Sulawesi yang ada di Jakarta.

Diorama 9
Melukiskan Peristiwa korban 40.000 jiwa, 1946-1947. Pada tanggal 11 Desember 1946 sampai dengan pertengahan Maret 1947 di daerah Sulsel meliputi Kota Makassar, Pare-Pare, Bantaeng dan Mandar telah terjadi suatu tragedi pembunuhan rakyat pejuang secara biadab oleh pasukan kolonialis Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling. Aksi Westerling ini diperkirakan telah menelan korban lebib kurang 40.000 jiwa, termasuk yang hilang. Beberapa tokoh masyarakat korban kekejaman WESTERLING ini antara lain Datu Suppa "Andi Makkasau" dan pemimpin pemerintahan RI di Pare-Pare Andi Bau Massepe sedangkan salah satu wanita yang cukup gigih menentang, kekejaman ini ialah Ibu Depu (Ibu Agung).

Diorama 10
Melukiskan konferensi Kelaskaran Sulawesi-Selatan, 20 Januari 1947. Pada tanggal 20 Januari 1947 di Desa Pacekke, Kabupaten Barru telah berlangsung suatu Konferensi Rakyat Pejuang dengan maksud pembentukan TRI di Sulsel dan Tenggara. Rapat dipimpin oleh Andi Mattalatta selaku pengemban mandat dari panglima besar Jenderal Sudirman. Konferensi ini berjalan dengan baik dan berhasil membentuk Tri Divisi Hasanuddin, Yang terdiri dari tiga Resimen Yaitu:
1.        Resimen I / Bade Massepe;
2.        Resimen II / Andi Padjonga;
3.        Resimen III / Andi Djemma.
 Pada kesempatan itu dilantik pula para perwira dalam jajaran Tri
 Divisi Hasanuddin.

Diorama 11
Melukiskan Kepahlawanan Robert Wolter Monginsidi di Sulawesi selatan, 1949.
"Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan" Inilah tulisan terakhir Wolter Monginsidi sebelum ia gugur sebagai pahlawan. Ia menjadi buruan Belanda nomor satu ketika pada bulan Juni 1946 dibentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (LAPRIA) yang mempersatukan 19 kelaskaran di daerah sekitar­ Makassar di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, sementara Wolter Monginsidi dipilih sebagai Sekretaris Jenderalnya. Dalam perjuangannya Wolter pantang menyerah. Dua kali ia ditangkap oleh Belanda. Pertama pada tanggal 28 Februari 1947, kemudian dipenjarakan di Hogepad pada tanggal 26 Oktober 1947; ia ditangkap kembali pada Maret 1949. Dihadapkan ke depan pengadilan kolonial dan dijatuhi hukuman tembak mati pada dini hari 5 September 1949. Ia masih sempat menuliskan kata-kata di atas sebagai jawabannya.

Diorama 12
Melukiskan Peristiwa Andi Azis, 5 April 1950.  Tanggal 30 Maret 1950 satu Kompi KNIL dibawah Kapten Andi Azis di Makassar melebur diri ke dalam APRIS. Tetapi tanggal 5 April 1950 mereka memberontak. Mereka menyerang markas Polisi Militer di Makassar dan menangkap Letnan Kolonel A. J. Mokoginta. Pemerintah mengeluarkan ultimatum supaya dalam waktu 4 x24 jam Andi Azis menghadap ke Jakarta. Karena ultimatum itu tidak diindahkan, APRIS mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang. Satuan-Satuan yang turut ialah Brigade Mobil Divisi IV Jawa Barat dan satu Batalyon di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta. Pasukan diangkut dengan kapal-kapal APRIS dan mendarat di Makassar pada tanggal 26 April 1950. Namun sebelum pasukan mendarat, Andi Azis sudah menyerahkan diri ke Jakarta.

Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief  Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat. [V]

Sumber : http://majalahversi.com/


Rumah Adat Makassar



Kenangan saya terbang ke masa puluhan tahun yang lalu ketika masih kecil. Sebelum masuk SD saya masih tinggal di kampung, sekitar 10 KM dari kota Makassar. Waktu itu, meski rumah orang tua sudah berbentuk rumah batu yang semi modern tapi di sekitar saya masih banyak rumah panggung khas suku Makassar.
Saat ini sudah susah menemukan rumah panggung khas suku Makassar itu di daerah yang mulai berubah menjadi kota. Kalaupun ada, itu adalah rumah yang sengaja dibangun untuk keperluan tertentu seperti wisata misalnya. Rumah panggung hanya bisa ditemukan di daerah yang agak jauh dari keramaian kota.
Dalam bahasa Makassar, rumah disebut Balla atau Bola dalam bahasa Bugis. Rumah khas Makassar ( dan juga Bugis ) berbentuk rumah panggung yang tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Disanggah oleh tiang-tiang dari kayu yang berjejer rapih.
Rumah atau balla berbentuk segi empat dengan lima tiang penyangga ke arah belakang dan 5 tiang penyangga ke arah samping. Untuk rumah milik bangsawan yang biasanya lebih besar, jumlah tiang penyangganya berjumlah lima ke samping dan enam atau lebih ke arah belakang.
Atap rumah adat Makassar berbentuk pelana, bersudut lancip dan menghadap ke bawah. Biasanya bahannya terdiri dari nipah, rumbia, bambu, alang-alang. ijuk atau sirap. Jaman sekarang bahan penutup atapnya sudah lebih modern tentu saja.
Bagian depan dan belakang puncak atap rumah yang berbatasan dengan dinding dan berbentuk segitiga disebut timbaksela. Dari timbaksela ini bisa dikenali derajat kebangsawanan pemiliknya.
Timbaksela yang tidak bersusun menandakan pemiliknya adalah orang biasa, bila bersusun tiga ke atas menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan. Bilsa susunan timbaksela-nya lebih dari lima atau bahkan sampai tujuh maka menunjukkan sang pemilik adalah bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan.
Untuk bisa naik ke atas rumah tentu saja ada tangga atau yang dalam bahasa Makassar disebut tukak. Tangga juga ada dua macam, yaitu :
Sapana, dibuat dari bambu. Induk tangganya tiga atau empat dan anak tangganya dianyam. Sapana ini memiliki coccorang ( pegangan ). Tangga jenis ini hanya digunakan oleh para bangsawan.
Tukak, dibuat dari kayu atau bambu. Induk tangganya ada dua dan ada juga yang tiga untuk bangsawan. Untuk warga biasa tangga jenis ini tidak memiliki coccorang atau pegangan. Anak tangganya selalu ganjil.
Tapi jaman sekarang semua aturan tentang tangga itu tampaknya mulai kabur, seiring dengan modifikasi tangga yang menggunakan bahan-bahan yang lebih modern seperti batu dan semen.
Sedangkan pembagian ruang untuk rumah khas Makassar adalah sebagai berikut :
Dego-dego : ruangan kecil dekat tangga sebelum masuk ke dalam rumah atau pada rumah modern disebut sebagai teras. Biasanya digunakan untuk bersantai atau menunggu pemilik rumah keluar.
Tambing : ruangan yang berbentuk lorong yang letaknya di samping kale balla ( rumah induk ) yang letaknya lebih rendah.
Kale Balla ; rumah induk atau badan rumah. Terdiri dari paddaserang atau ruangan. Ruangan paling depan yang digunakan untuk menerima tamu disebut paddaserang dallekang ( ruangan depan ), sedangkan bagian tengah disebut paddaserang tangnga ( ruangan tengah ) yang digunakan untuk kegiatan yang lebih privat. Bagian belakang disebut paddaserang riboko ( ruangan belakang ) yang fungsinya untuk kamar, utamanya kamar anak gadis.
Balla pallu ; dapur, digunakan untuk kegiatan masak memasak dan menyimpan alat masak. Biasanya ketinggiannya lebih rendah dari paddaserang.
Sedangkan untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus biasanya terpisah dari bangunan rumah dan terletak agak di belakang. Tiap rumah biasanya punya sumur sendiri-sendiri atau biasanya sebuah sumur digunakan oleh beberapa rumah.
Rumah khas Makassar biasanya tidak menggunakan plafond dan di bagian atas antara dinding dan atap biasanya dibuat sebuah ruang yang disebut pammakkang. Fungsinya adalah menempatkan benda-benda khusus atau biasanya padi yang sudah siap dijadikan beras.
Bagian bawah rumah disebut siring dan biasanya digunakan untuk bersantai dengan menempatkan balai-balai. Beberapa rumah juga menggunakannya sebagai gudang.
Balla Lompoa
Blogger Makassar berfoto di Balla Lompoa
Salah satu rumah adat yang masih tersisa dan masih bisa dilihat serta dikunjungi adalah Balla Lompoa ( rumah besar ) yang merupakan rumah peninggalan kerajaan Gowa. Rumah ini terletak di kawasan istana kerajaan Gowa. Pemerintah kabupaten Gowa membuat sebuah rumah besar yang digunakan sebagai museum dan tempat pusat penyelenggaraan acara-acara khusus.
Bila berkunjung ke Makassar, teman-teman boleh mengunjungi rumah tersebut sebagai satu dari sedikit rumah adat yang masih bisa dilihat dan dikunjungi. Makin hari keberadaan rumah adat memang makin terkikis, tergantikan oleh rumah-rumah modern.
Semoga saja masih akan terus ada orang-orang yang bersedia memelihara peninggalan nenek moyang ini sehingga anak cucu kita tak perlu mengenang rumah adatnya hanya dari buku bacaan atau cerita orangtuanya saja.

Sumber :  http://daenggassing.com

Alat Musik dan Lagu Suku Makassar

 A.Alat-alat musik

Seni Musik Tradisional
1.      Kesok-Kesok, instrumen gesek berdawai dua. Alat penggeseknya terbuat dari bulu kuda. Cara menggeseknya ialah dengan menegakkan kesok-kesok tersebut, lalu digesek.
2.      Sinrilik termasuk jenis sastra lisan yang masih hidup di masyarakat Makassar. Sinrilik biasanya menceritakan tentang perjalanan sejarah, petuah dan kisah tokoh-tokoh penting yang masih hidup dalam masyarakat. Pembacaan syair (puisi) biasanya dilakukan sambil diiringi oleh kesok-kesok (rebab) dengan irama tertentu yang spesifik.
3.      Orkes turiolo. Musik ini merupakan perpaduaan beberapa instrumen daerah Makassar dengan memperdengarkan beberapa lagu asli (turiolo) Makassar yang menghantarkan kita pada zaman bahari di Sulawesi Selatan.
4.      Tunrung Pakkanjara, merupakan perpaduan irama beberapa bunyi nyanyian klasik (karawitan) terdiri dari gendang, pui-pui dan gong. Irama gendang ini ditabuh sedemikian rupa hingga menimbulkan bunyi yang menggebu-gebu diiringi tiupan pui-pui (seruling khas Gowa) yang melengking memekakkan telinga dan bunyi gong, semuanya akkanja-kanjara bersatu dalam ritme yang disebut pakkanjara.
5.      Batti. Musik yang mempergunakan alat sejenis gambus. Biasanya dipertunjukkan pada pesta perkawinan, sunatan atau acara-acara lain yang merupakan pesta kegembiraan. Jenis musik ini berasal dari daerah Selayar.
6.      Gandrang Gendang adalah kesenian musik asli Bugis-Makassar. Bunyi gendangdipadukan dengan bunyi pui-pui (sejenis suling) dan tarian. Irama yang dihasilkan bermacam-macam, tergantung keadaan, ada irama untuk sambutan, perpisahan, pemacu semangat, pembukaan acara, dan lainnya.Gendang adalah alat musik pukul. Kalau dipukul pakai tangan disebut tumbuk; kalau dipukul pakai tongkat (ba’bala’) disebut tunrung. Rangkanya terbuat dari kayu campaga yang dikuatkan dengan ikatan rotan; karena sumber daya rotan sudah berkurang, fungsinya digantikan oleh tali plastik (tasi). Alasan pemakaian kayu campagakarena bunyi yang dihasilkannya bagus; kayucampaga juga tahan dari lapuk karena rayap. Bagian yang dipukul terbuat dari kulit kambing jantan. Alasan pemakaian kulit kambing jantan adalah karena tipis sehingga menghasilkan bunyi yang lebih besar dan nyaring.Kini, Gandrang Gendang masih sering mengalun di acara-acara pernikahan, ritual adat, dan termasuk festival yang sering diikuti Dg. Serang dan kelompoknya. Harapan Dg. Serang dan teman-temannya, semoga kesenian Gandrang Gendang dapat terus terpelihara dan bertahan di tengah-tengah kuatnya pengaruh kesenian modern.
Selain itu juga ada Ganrang, Gong, Pui-pui,Ganrang Bulo, Kacaping, Kere-kere Gallang, Katto-katto, Sikunru, Basing-basing, Genggong, Tendong-tendong, Kancing,  Baccing.
B.Lagu-lagu daerah
      Suku Makassar sebagai salah satu suku yang mendiami bagian selatan pulau Sulawesi ini selain memiliki berbagai jenis alat musik juga memiliki berbagai macam lagu-lagu daerah yang membudaya turun menurun, sebagai bangsa Indonesia tentu adalah tugas kita untuk terus menerus melestarikan lagu-lagu ini sebagai asset budaya bangsa yang sangat berharga, beberapa diantara lagu-lagu daerah Sulawesi selatan yang menggunakan bahasa Makassar adalah:
1.      Anging Mamiri
2.      Pakarena
      3.      Tulolona Sulawesi

Contoh lagu Suku Makassar:



Tulolonna  Sulawesi
Malabirik memang tongi
Tulolonna sulawesi
Makbaju bodo ... makbaju bodo
Mangngingking lipak sakbena
Baju bodo kasak eja
Lipak sakbe curak lakbak
Bunga ninguba ... bunga niguba
Takdongkok risimbolenna
Angkak-angkana bangkenna
Soe-soena limanna
(2x)
Kingking lipakna ... kingking lipakna
Sakge kanangi nicinik
Malakbirik memang tongi
Tulolonna sulawesi
Mabajik ampe ... mabajik ampe alusuk ri pangngadakkang
Gadis Sulawesi
Gadis sulawesi memang anggun
Berbaju bodo berjalan sambil memegang,
Ujung sarung sutranya
Baju bodo dari sutra merah
Sarung sutra bercorak lebar
Gubahan kembang tersunting di sanggulnya
Langkah-langkahnya, ayunan tangannya
Caranya memegang sarung. Sungguh indah
Dipandang mata
Gadis Sulawesi sungguh anggun
Sopan santun, serta halus tindak taduknya
Sumber : http://adindadindaa.blogspot.com

Misteri dan Sejarah Lapangan Karebosi, Makasar



karebosi_vertikal
Bagi warga Makassar, cerita berbau mistik dan alam gaib di Lapangan Karebosi bukanlah hal yang baru. Tidak sedikit yang percaya bahwa berbagai kejadian aneh di luar nalar yang muncul di lapangan yang menjadi titik nol kilometer kota Makassar itu adalah ulah dari “para penjaga” yang berdiam di sana. Citizen reporter Djamaludin mewawancarai pengurus PSM, yang termasuk sering mengalami kejadian-kejadian aneh di lapangan itu dan upaya agar tidak “diganggu” selama berlatih.(p!)
Orang-orang yang sering ke Lapangan Karebosi Makassar umumnnya sudah paham bahwa lapangan itu menyimpan banyak mitos dan di sana sering muncul peristiwa di luar akal sehat. Sejumlah kejadian aneh kerap menimpa mereka yang memang saban hari tinggal dan bekerja di situ, termasuk Abdul Haris, manajer lapangan dan Tajuddin, penasehat spiritual PSM Makassar.
Haris dan Tajuddin sudah paham betul di mana tempat angker di setiap sudut di Lapangan Karebosi. ‘’Saya sudah terlalu sering melihat hal-hal aneh di lapangan ini. Pernah suatu malam ada kuda berjalan di dalam lapangan tempat latihan pemain PSM, penunggangnya sempat berputar-putar mengelilingi lapangan dan kemudian menghilang, saya sempat kaget tapi tidak takut. Belakangan saya tahu berdasarkan informasi teman-teman, kuda itu ‘penghuni’ lapangan ini,’’ kata Haris menuturkan pengalamannya.
Kini karena sudah tahu, setiap kuda itu muncul, Haris memilih diam dan tak mau mengganggu. ‘’Kalau kita tidak mengusik , mereka juga tidak akan mengganggu kita, itu yang selalu ada dalam pikiran saya, walaupun awalnya ada teman-teman yang sempat takut juga,’’ ujarnya..
Kuburan di sekitar lapangan karebosi
Kuburan di sekitar lapangan karebosi
Haris yang sudah enam tahun mengelola tempat latihan pemain PSM, ingat betul betapa nasib Fouda Ntsama berakhir tragis setelah mengencingi satu dari tujuh kuburan di pinggir lapangan tempat latihan pemain PSM. Pemain asal Afrika itu terpaksa gantung sepatu, padahal ia cuma terkilir saat latihan usai mengencingi kuburan itu. Insiden yang menimpa Ntsama tenttak ayal lagi dikait-kaitkan dengan kekuatan gaib dari kuburan itu.
‘’Sejak saat itu orang mulai semakin takut dengan kuburan yang ada di sekitar lapangan itu,’’ jelas Haris.
Pada malam-malam tertentu, terutama malam Jumat dan malam Senin, semua aktivitas memperbaiki lapangan, termasuk menyiram rumput dan meratakan sisa-sisa kubangan di tengah lapangan dihentikan. Alasannya, karena sudah kerap kali Haris dan beberapa temannya ditegur ‘penghuni’ lapangan.
‘’Kalau kami tetap kerja sampai larut di malam Jumat dan malam Senin, biasanya ada saja yang selalu sakit perut, entah saya atau teman yang lainnya. Kejadian itu selalu berulang, padahal kalau malam-malam lainnya biasa-biasa saja, kami juga pernah ditegur ‘penghuni’ lapangan lewat kejadian-kejadian aneh,’’ papar alumni Universitas Muslim Indonesia ini.
Kejadian aneh yang dimaksud Haris itu yakni, pernah suatu waktu, pekerjanya yang tidur di bangku pemain, tiba-tiba sudah berpindah tempat saat terbangun, pekerja yang lainnya jelas kaget karena sebelumnya pekerja itu masih tidur di tempat pekerja lainnya.
‘’Setiap magrib juga kami pasti menghentikan pekerjaan, itu sudah rutin karena menghormati ‘penghuni’ lapangan,’’ katanya lagi.
Ziarah tahunan
Bekas Peziarah
Bekas Peziarah
Selain itu, setiap tahun pasti Haris dan pekerja lainnya, termasuk penjual di sekitar Karebosi melakukan ziarah ke makam yang ada di lapangan itu, ini supaya ada keharmonisan antara ‘penghuni‘ lapangan dan mereka yang memang menggantungkan rejekinya di sekitar Lapangan Karebosi.
Selama berada di Karebosi, Haris mencermati, pusat keramat tempat itu persis di lapangan tempat latihan pemain PSM. Kalau di tempat-tempat lain, memang sering ada kejadian aneh, tapi skalanya tidak sebanyak di lapangan tempatnya bernaung.
Sementara Tajuddin, sang penasehat spiritual PSM menambahkan, ‘’Biasanya kalau lampu penerang di Karebosi dimatikan, pasti ada satu dua ‘penghuni’ yang muncul, entah berkuda atau dalam wujud lain.’’
Sebagai pensehat spiritual PSM, Tajuddin yang juga biasa disapa Ustaz PSM, memang sangat yakin dengan hal-hal gaib yang sering terjadi di Lapangan Karebosi.
”Sebenarnya, bukan hanya di Karebosi, setiap ikut tim bermain ke luar kota atau saat bermain di Stadion Mattoanging, selalu saja ada hal-hal gaib di luar nalar kita, tapi yang seperti itu biasanya merupakan titipan lawan supaya pemain kita kalah,” rincinya.
Makanya Tajuddin selalu ada setiap PSM bertanding, baik di kandang sendiri maupun saat tur ke luar kota. Pria berambut putih ini selalu berusaha menghalau ancaman magic dari lawan. Tapi kalau di Karebosi, hanya sesekali Tajuddin ke sana, katanya cuma kalau ada mood. Itupun hanya sekedar untuk ikut nonton latihan rutin para pemain.
”Saya membantu PSM sejak Nurdin Halid yang jadi manajer. Dulu biasanya ada ritual khusus sebelum PSM bertanding, ini karena tim lawan biasanya menggunakan kekuatan supranatural untuk mengalahkan PSM, tapi sekarang ritual itu mulai ditinggalkan, soalnya sudah banyak manajer baru dan semua punya penasehat masing-masing,” jelasnya.
Kejadian atau peristiwa-peristiwa seperti itu memang di luar nalar kita, dan memang sulit dipercaya akal sehat, tapi bagi Haris dan sejumlah pengurus PSM yang menghabiskan hari-harinya di sana, kejadian itu memang benar-benar terjadi dan diyakininya.
Mitos : Tujuh Penyelamat dari Karebosi
edisi1_kuburan3Citizen reporter Nilam Indahsari, melakukan penelitian kecil-kecilan tentang mitos tujuh kuburan yang ada di Karebosi. Dari catatan sejarah sampai koneksi ke alam gaib dibaginya dalam tulisan ini. (p!)
Tanpa sebab yang pasti, sejumlah gajah sirkus yang telah dilatih selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja mengamuk. Sang pemilik sirkus tentu saja tak habis pikir dengan kejadian aneh ini. Hari itu, pertunjukannya di lapangan Karebosi berakhir kacau. Bukan hanya itu, pagar pengaman sekitar tenda sirkus pun ambruk seketika. Indra, perempuan berusia sekitar 40 tahun, mengenang peristiwa di tahun 1984 itu seraya berkata, “Itulah akibatnya kalau tidak minta izin pada ‘penjaga’-nya Karebosi”.
Sore itu saya menemui Indra di samping salah satu warung di lapangan Karebosi. Ia bertutur tentang peristiwa gajah sirkus yang mengamuk, juga tentang penjaga Karebosi. Ia tampaknya tahu banyak, dan juga percaya seputar kejadian-kejadian aneh dan kaitannya dengan apa yang disebutnya sebagai penjaga itu. Indra menyebut-nyebut soal tujuh kuburan di tengah lapangan.
Tujuh kuburan itu pulalah yang mengusik rasa ingin tahu saya. Sewaktu masih bersekolah di SD Sudirman IV yang terletak di Jalan Sudirman, saya dan teman-teman sering melihat tujuh kuburan itu, di saat pelajaran olahraga berlangsung di lapangan yang terletak di depan sekolah kami itu. Di suatu malam Jumat, di bulan April, saya sengaja mendatangi kuburan itu. Di sana saya bertemu tujuh orang peziarah.
Menemukan ketujuh kuburan itu di tengah gelap malam, ternyata tak sesulit perkiraan saya. Seseorang yang nongkrong di panggung lapangan, menyarankan untuk mendatangi asal nyala lilin yang ternyata diletakkan di atas masing-masing kuburan. Setelah sampai di sana, saya mengucap salam sama seperti lazimnya ketika berziarah di kuburan umum.
Kelompok peziarah malam itu terlihat khusyuk. Dan di tengah kegelapan, di antara remang-remang cahaya lilin dan temaram lampu merkuri, saya menyaksikan mereka menyalakan sebatang taibani eja atau lilin merah di atas tiap kuburan, menabur bunga, serta membasahi tanah kuburan dengan air. Mereka juga membawa sesajen berupa pisang raja, kelapa muda, dan anak ayam kampung. Semua sesajen itu diangkut dengan sebuah becak, yang sengaja disewa untuk melintasi sayap timur Karebosi untuk keperluan ziarah itu.
Dari penjelasan penjaga kuburan yang bernama Kadir Daeng Naba, saya mengetahui sedikit tentang kelompok peziarah itu. Katanya, mereka itu memiliki warung di pinggir salah satu ruas jalan lapangan Karebosi. Dan keesokan harinya, tibalah saya di warung dimaksud, kemudian bertemu dengan Indra, perempuan yang bercerita tentang penjaga kuburan itu.
Keponakan Indra, seorang anak perempuan berusia sembilan tahun bernama Andi Ani, melengkapi kisah ziarah di malam sebelumnya.. Andi Ani bertutur, bahwa beberapa hari sebelum rombongan mereka berziarah, tantenya yang bernama Suri –yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, tiba-tiba kesurupan. Melihat Suri yang sedang kesurupan, salah seorang keluarganya lalu mengucap nazar. “Kalau tanteku sembuh, kami akan berziarah ke tujuh kuburan itu,” ungkapnya.
Indra, warga yang tinggal di Jalan Bayam, Makassar, itu menambahkan, kisah gajah sirkus yang mengamuk hanyalah salah satu keanehan yang kerap terjadi di Karebosi. Ia percaya itu. Dan tampaknya bukan hanya Indra yang berkeyakinan demikian. Beberapa orang yang duduk di sekitar kami juga menyetujui pernyataan perempuan berambut pendek itu. Mereka percaya berbagai kejadian aneh seperti misalnya panggung pertunjukan yang roboh atau acara yang berakhir kacau, disebabkan karena campur tangan sang penjaga Karebosi.
Barangkali karena cukup meluasnya kepercayaan bahwa setiap hajatan di Karebosi sebaiknya didahului dengan meminta izin sang penjaga, membuat banyak orang yang mengadakan kegiatan seperti upacara, pertandingan olahraga, pasar malam atau konser musik, biasanya berziarah dulu ke kuburan tersebut. Mereka meyakini kegiatan berziarah itu sebagai pertanda minta izin agar kegiatan yang akan digelar dapat berjalan lancar.
Selain berziarah untuk keperluan meminta izin menyelenggarakan kegiatan, sebagian orang juga meyakini bahwa pemilik tujuh kuburan itu adalah perantara manusia dengan Tuhannya, sehingga doa yang dipanjatkan dari tempat itu berpeluang besar untuk dikabulkan. Kepercayaan itu tak hanya berlaku di kalangan etnis Makassar yang umumnya beragama Islam, tapi beberapa orang keturunan Cina pun biasa berdoa di tempat itu. “Orang yang berziarah memohon berbagai macam permintaan, mulai dari doa agar usaha mereka makin menangguk untung yang besar, hingga meminta kelancaran mencari jodoh,” kata Indra.
Lantas, siapa gerangan yang bersemayam di tujuh kuburan itu dan mengapa mereka tidak dikuburkan di kuburan umum saja? Pertanyaan ini juga sebenarnya telah muncul sejak lama di benak saya. Ketika mengikuti kegiatan lari lintas lapangan saat masih SD, saya dan teman-teman biasanya melambatkan langkah setiap melintasi setapak kedua dari pintu masuk sebelah timur Karebosi itu dengan hati yang berdebar-debar. Tapi setelah menatap jejeran kuburan yang tersembul di sela rumput lapangan, kami justru kerap mempercepat langkah karena ketakutan tanpa sebab yang jelas.
Bila merujuk pada sebuah peta kuno yang saya temukan di Museum Balaikota Makassar, disebutkan bahwa Karebosi dulunya adalah sawah yang merupakan wilayah Kerajaan Gowa. Kalau Karebosi dulunya adalah sawah, maka aneh rasanya mendapati jejeran tujuh kuburan di daerah persawahan. Dan meskipun dalam perkembangan selanjutnya, Karebosi kemudian berubah fungsi menjadi ruang terbuka atau alun-alun kota, kehadiran tujuh kuburan itu tetap mengundang tanda tanya saya.
Karena Daeng Naba tak tahu persis tentang detail ketujuh bersaudara itu, maka ia menyarankan saya untuk mencari keterangan di Balla’ Lompoa, istana Raja Gowa yang terletak di Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Di sana saya bertemu dengan seorang pemandu. Ia mengatakan tak tahu banyak mengenai tujuh kuburan itu. Namun, ia juga menyangkal bahwa yang bersemayam di kuburan itu adalah tujuh orang bersaudara. Ia yakin tujuh bersaudara yang dimaksud itu dikuburkan di Galesong, Takalar, sekitar 60 km ke arah selatan Makassar. Sehingga orang biasa menyebutnya dengan “Tujua ri Galesong”.
Konon, tujuh bersaudara itu adalah orang yang dikutuk oleh salah seorang wali karena kenakalan yang sering dilakukannya. Karena kutukan itu, arwah mereka masih terkatung-katung di antara bumi dan langit. Setelah kematiannya, orang-orang memanfaatkan arwah mereka untuk keperluan yang negatif seperti mengguna-gunai orang lain. Orang yang berniat seperti itu biasanya meminta bantuan yang bungsu. Konon, si bungsu yang tuna wicara itu dianggap terkejam di antara ketujuhnya. Ia memiliki kemampuan merasuki tubuh seseorang atas permintaan orang lain.
Setelah bercerita di anak tangga museum Balla’ Lompoa, pemandu itupun menyarankan saya bertemu dengan seorang lelaki yang tinggal tak jauh dari Balla’ Lompoa. Lelaki itu bernama Andi Djufri Tenribali. Ia lebih akrab disapa Daeng Pile.
Kening Daeng Pile mengernyit melihat kehadiran saya. Wajar saja, karena sebelumnya kami memang tak pernah berkenalan. Ia pun bertanya tentang tujuan saya menemuinya. Tanyanya berbalas ketika saya memberitahukan keingintahuan saya tentang tujuh kuburan itu. Tangannya menutupi mulutnya yang tertutup dan menatap saya lekat, keningnya pun masih mengernyit. Ia tak langsung mau bercerita panjang lebar. Ia hanya meminta saya menulis apa saja yang ingin saya ketahui tentang tujuh kuburan itu di atas selembar kertas. “Saya akan memilah mana yang bisa saya jawab,” ujar Daeng Pile sambil berjanji memberikan jawabannya dua hari kemudian.
Dua hari kemudian saya menemuinya lagi. Tapi ia belum memberikan jawaban sama sekali. Ia mengaku, dalam dua hari itu ia selalu merasa terhalangi untuk membalas pertanyaan saya di atas selembar kertas juga. “Sepertinya saya harus minta izin dulu sebelum memberi jawaban,” ujarnya. Daeng Pile mengatakan, ia akan meminta izin melalui meditasi, untuk itu ia meminta nama saya yang menurutnya akan disampaikan kepada pemilik tujuh kuburan itu. Jika diizinkan, maka ia baru berani bercerita kepada saya. Persoalannya, “lebih mudah menghadapi kemarahan orang yang masih hidup daripada yang telah tiada,” kata Daeng Pile.
Katanya, di saat-saat tertentu, ia memang menarik diri dari keramaian lalu berdiam melakukan meditasi di salah satu bilik rumahnya di bilangan Syamsuddin Tunru, Sungguminasa, Gowa, itu. Meditasi itu biasa dilakukannya di malam bulan purnama. Sebelumnya, ia menyiapkan paling kurang tiga sisir pisang, air kelapa muda, dan kain putih sepanjang satu meter. Dalam meditasinya, Daeng Pile berkomunikasi dengan pemilik tujuh kuburan itu. Lama kelamaan, ia pun merasa telah ada semacam benang merah yang terjalin antara mereka. Ia pun diberitahu mengenai siapa, dari mana, dan kapan kuburan itu mulai ada.
Di hari ketiga, saya akhirnya mendapatkan jawaban, meski tak semuanya. Ternyata Daeng Pile kerap pula berziarah ke kuburan itu sejak kurang lebih sembilan tahun lalu. Ia ke tempat itu karena percaya pada apa yang dikisahkan beberapa penutur tradisi yang ditemuinya. Semua cerita mereka seragam, bahwa suatu ketika nanti Makassar dan sekitarnya akan dilanda kekacauan. Pusat kekacauan itu adalah di Karebosi, karena di tempat itulah konon nanti menjadi ajang orang-orang saling bunuh sehingga tanahnya akan digenangi darah hingga pergelangan kaki. Dan yang bisa meredakan keadaan itu adalah tujuh orang yang turun dari langit atas seizin Tuhan. Mereka akan turun tepat di daerah kuburan itu.
Para penutur tradisi juga mengaitkan kejadian itu dengan apa yang tertulis di dalam Al Quran. Dalam kitab suci umat Islam itu, digambarkan munculnya sosok Dajjal yang akan membawa dunia ini pada keadaan kacau balau. Menurut mereka, pada keadaan yang disebabkan oleh Dajjal itu pula ketujuh orang tersebut turun dari langit.
Tapi bukan cuma itu yang membangun keyakinan Daeng Pile. Lelaki yang pernah jadi pemandu wisata di Benteng Fort Rotterdam ini, juga mencari-cari informasi mengenai kuburan tersebut yang kemungkinan saja terselip di antara lembaran naskah-naskah kuno. Dan yang lebih memperkuat keyakinan Daeng Pile itu adalah pengalaman batinnya bercakap dengan pemilik tujuh kuburan itu.
Daeng Pile akhirnya akhirnya bersedia membagi pengetahuannya tentang tujuh kuburan itu. Maka bertuturlah Daeng Pile, bahwa sejarah kuburan itu dimulai pada abad ke-10. Kala itu Karebosi masih masuk dalam wilayah Kerajaan Gowa-Tallo yang meliputi Sungai Tallo bagian utara hingga Barombong bagian selatan. Waktu itu pusat kota Makassar terletak di Benteng Somba Opu sehingga benteng itu dinamakan pula benteng Makassar. Setelah peperangan antara Kerajaan Gowa dan VOC meletus pertama kali pada 1667 dan dimenangkan oleh VOC, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Dari perjanjian perdamaian ini, pusat Makassar terbagi ke Benteng Jungpandang juga.
Karena masih merasa terancam, VOC yang waktu itu dipimpin oleh Laksamana Muda Cornelisz Janszoon Speelman, menyerang lumbung padi rakyat Gowa dan membumihanguskan Benteng Somba Opu pada 1668-1669. Setelah peperangan kedua itu, VOC akhirnya mengambil alih pusat Makassar yang waktu itu hanya di benteng Jungpandang dan mengubah namanya jadi Fort Rotterdam. Speelman pun mulai unjuk gigi dengan melakukan perluasan kota pada 1670. Master plan perluasan kota itu tetap dilanjutkan oleh pengganti Speelman. Pada 1890 saat Makassar berstatus sebagai kota afdeling, Pemerintah Hindia Belanda berhasil memasukkan Karebosi ke dalam wilayah kota Anging Mammiri ini .
Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10 dilanda keadaan kacau balau. Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang saling beradu kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.
Suatu hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Karebosi yang dulu merupakan hamparan luas nan kering lalu digenangi air.
Lantas sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan. VOC kemudian mengubah nama itu jadi Koningsplein. Setelah penjajah Belanda menyerah, nama itu lantas berubah lagi jadi Karebosi seperti yang dikenal banyak orang dewasa ini.
Kurang lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau Raja Gowa ke-7, tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat berpijak pertama kali tujuh tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa orang membentuk tujuh gundukan itu menyerupai kuburan dengan cara tiap gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah. Cara ini sering dilakukan orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah kuburan.
Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya kembali.
Mitos yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah digambarkan di dalam Lontara dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,” kata Daeng Pile mengutip salah satu isi dokumen Lontara itu.
Di saat banjir darah itulah, konon katanya di Karebosi akan muncul secara tiba-tiba tujuh balla` lompoa atau istana yang bentuknya serupa. Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah, perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Dalam kepercayaan mistik Jawa, tokoh itu dikenal dengan sebutan Ratu Piningsit. “Saya memerkirakan tokoh yang pijakannya di tengah itulah yang nanti akan menjadi tokoh berkharisma paling kuat itu. Karena bagi saya, tokoh itu merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi,” sebut Daeng Pile.
Namun Daeng Pile masih enggan menyebut secara detail persona masing-masing tujuh tokoh tersebut. Baginya hal itu masih tabu untuk diceritakan dan telah jadi konsensus antara dirinya dengan para penutur tradisi, dan mungkin juga dengan ketujuh tokoh tersebut. Ia punya alasan sendiri untuk itu. Menurutnya, dengan menyebut persona ketujuh tokoh itu dapat berpengaruh pada keberadaan seseorang atau negeri dalam berbagai hal, seperti bencana alam, kekacauan, kesengsaraan, yang memengaruhi aspek kehidupan dari rakyat maupun penguasa.
Terlepas dari beragamnya hikayat yang ada, ritual berziarah ke tujuh jejeran makam itu tetap berlangsung hingga hari ini. Mereka datang dengan kepercayaan dan tentunya saja niat yang berbeda-beda. Dan di tengah riuh rendah berbagai kegiatan di Karebosi, dari keramaian pidato politikus di musim kampanye, dari kelincahan kaki para pemain PSM menggiring bola, dari hingar bingar pertunjukan musik, hadir legenda abadi tentang tujuh penjaga Karebosi, yang dipercaya, yang diziarahi, dan menjadi tempat orang-orang menundukkan kepala, berdiam dan berdoa, ditemani nyala lilin merah, taburan kembang, dan sesajen. (Panyingkul.com)

Objek Wisata di Kota Makassar


Pantai Losari 
 
Pantai Losari merupakan icon Kota Makassar. Pantai ini dulunya merupakan pantai dengan meja terpanjang di dunia, karena warung-warung tenda yang berjejer di sepanjang tanggul pantai. Namun saat ini warung-warung tersebut telah direlokasi ke tempat yang tidak jauh dari kawasan wisata. Pemerintah Kota Makassar telah memperindah pantai ini dengan membuat anjungan, sehingga lebih bersih dan nyaman untuk dikunjungi. Di sekitar pantai ini terdapat banyak kafe-kafe dan restoran yang menyajikan makanan laut yang masih segar. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati makanan khas Kota Makassar, seperti pisang epek, pisang ijo, coto Makassar, sop konro, dan lain sebagainya. Disepanjang pantai banyak juga terdapat penginapan, baik hotel kelas melati sampai hotel berbintang. Terdapat juga rumah sakit dan pusat perbelanjaan emas serta kerajinan/souvenir khas Makassar. Lokasi pantai ini terletak di Jantung Kota Makasar, yaitu di Jalan Penghibur sebelah barat Kota Makassar.


Pulau Samalona
 
Pulau Samalona merupakan wilayah Kota Makassar yang luasnya sekitar 2,34 hektar. Pulau ini merupakan salah satu objek wisata bahari yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Kawasan pulau ini sangat bagus utuk menyelam, karena di sekelilingnya terdapat karang-karang laut yang dihuni beraneka ragam ikan tropis dan biota laut lainnya. Pulau ini berjarak sekitar 6,8 Km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh sekitar 20 – 30 menit dengan menggunakan speed boot. Di lokasi ini juga terdapat beberapa penginapan sederhana berbentuk rumah panggung yang dapat menampung sekitar 20 orang. Selain itu, tersedia juga beberapa warung makanan yang menyediakan aneka ragam seafood segar.


Benteng Somba Opu
 
Benteng Somba Opu dibangun pada tahun 1525 oleh Sultan Gowa ke IX. Benteng ini merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang dari Asia dan Eropa. Pada tahun 1669, benteng ini dikuasai oleh VOC kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuawan. Dan pada tahun 1990, benteng ini direkonstruksi sehingga tampak lebih baik. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah objek wisata bersejarah di Kota Makassar yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan yang mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Selain itu, terdapat juga sebuah meriam dengan panjang 9 m dan berat 9.500 kg serta sebuah museum yang berisi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa.
 

Fort Rotterdam
 
Fort Rotterdam ini awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa X dengan nama Benteng Ujung Pandang. Di dalamnya terdapat rumah panggung khas Gowa di mana Raja dan keluarganya tinggal. Pada saat Belanda menguasai are Banda dan Maluku, mereka mutuskan untuk manaklukkan Kerajaan Gowa agar armada dagang VOC dapat masuk dan merapat dengan mudah di Sulawesi. Dalam usahanya menaklukkan Gowa, Belanda menyewa pasukan dari Maluku. Selama setahun lebih Benteng digempur, akhirnya Belanda berhasil masuk serta menghancurkan rumah Raja dan seisi Benteng. Pihak Belanda memaksa sultan Hasanuddin untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, dimana salah satu pasal dalam perjanjian tersebut mewajibkan Kerajaan Gowa menyerahkan Benteng kepada Belanda.

Setelah Benteng diserahkan kepada Belanda, Benteng kembali dibangun dan ditata sesuai dengan arsitektur Belanda kemudian namanya diubah menjadi Ford Rotterdam. Benteng ini kemudian digunakan sebagai pusat pemerintahan   dan penampungan rempah-rempah di Wilayah Indonesia Timur. Pada masa penjajahan Jepang, Benteng ini difungsikan sebagai pusat studi pertanian dan bahasa. Kemudian TNI dijadikan sebagai pusat komando. Dan sekarang Benteng ini menjadi pusat kebudayaan dan seni.

Di dalam Benteng ini terdapat beberapa ruang tahanan/penjara yang slaah satunya digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro. Selain itu, terdapat juga sebuah gereja peninggalan Belanda dan Meseum La Galigo yang menyimpan kurang lebih 4.999 koleksi. Koleksi tersebut meliputi koleksi prasejarah, numismatic, keramik asing, sejarah, naskah, dan etnografi. Koleksi Etnografi ini terdiri dari berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Bugis, Makassar, Mandar, da Toraja. Saat ini, selain sebagai tempat wisata bersejarah, Benteng ini juga dijadikan sebagai pusat kebudayaan Sulawesi Selatan.
 
Tarian Khas Bugis Makassar
1.  Tari Gandrang Bulo
Tari Gandrang bulo ini dimainkan oleh beberapa laki-laki. tarian ini biasanya dimainkan dalam kegiatan-kegiatan rakyat Makassar. Tak ada gerakan baku dalam tarian ini. yang pasti para penari akan berputar-putar melakonkan beberapa gerakan jenaka demi mengundang Tawa Penonton Seperti Melakonkan Gerakan seperti kera, Gerakan Pincang (Keppang dalam bahasa Makassar). dan lain-lain. Sangat menarik menyaksikan tarian ini. Daeng pernah ikut penampilan tarian seperti ini dan daeng sangat bangga menjadi bagiannya.


2. Tari Pakarena
Tari Pakarena adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik). Selain tari pakarena yang selama ini dimainkan oleh maestro tari pakarena Maccoppong Daeng Rannu (alm) di kabupaten Gowa, juga ada jenis tari pakarena lain yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu “Tari Pakarena Gantarang”. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di Pulau Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang dimainkan oleh empat orang penari perempuan ini pertama kali ditampilkan pada abad ke 17 tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta Raja dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata.
Tak mengherankan jika gerakan dari tarian ini sangat artistik dan sarat makna, halus bahkan sangat sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Setiap gerakan memiliki makna khusus. Posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam. Tari Pakarena Gantarang diiringi alat music berupa gendang, kannong-kannong, gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar. (wikipedia.org)

3. Tari Paduppa Bosara
Tari Paduppa Bosara sering ditarikan pada setiap acara penting untuk menyambut raja dengan suguhan kue-kue sebanyak dua kasera. Tarian ini juga sering ditarikan saat menyambut tamu agung, pesta adat dan pesta perkawinan. Ini menggambarkan bahwa suku Bugis jika kedatangan tamu akan senantiasa menghidangkan bosara sebagai tanda syukur dan penghormatan.
Budaya Bosara merupakan peninggalan budaya khas Sulawesi Selatan dari jaman kerajaan dulu, khusunya kerajaan Gowa dan kerajaan Bone.
Kata bosara tidak terlepas dari kue-kue tradisional sebagai hal yang saling melengkapi. Bosara merupakan piring khas suku Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Biasanya Bosara diletakan ditengah meja dalam acara tertentu, terutama dalam acara tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Bosara terbuatdari besi dengan tutupan seperti kobokan besar, yang dibalut kain berwarna terang, yang diberi ornamen kembang keemasan di sekelilingnya.
Menyebut Bosara sebenarnya meliputi satu kesatuan yaitu piring, yang diatasnya diberi alas kain rajutan dari wol, lalu diatasnya diletakan piring sebagai tempat kue dan diberi penutup Bosara. Kue-kue yang biasanya disajikan dengan menggunakan bosara adalah kue cucur, brongko, kue lapis, biji nangka dan sebagainya, yang umumnya terbuat dari tepung beras. Dan berbagai kue kering seperti banag-banang, umba-umba, rook-roko, dan berbagai macam kue putu. Kue tersebut biasanya disajikan dalam acara-acara adat.
Dan Masih banyak yang tidak kita Ketahui tentang Makassar Kota daeng tercinta kita. Kenalilah Budayamu. Banyak yang bisa kita jadikan referensi budaya kita. Internet salah satunya. Di Google kalau kita cari kata kunci budaya Makassar maka akan sengat lengkap informasi yang kita dapatkan. Jangan cuma Twitter, Facebook. Yah sekali-Sekali Cari informasi tentang Makassar. Salamakki.
Sumber : http://daengbecakmks.blogspot.com